Membangun Karakter Bangsa Ala Masyarakat Jepang

Prof. Dr. Eng. Syafaruddin, S.T, M.Eng

Guru Besar Konversi Energi

Departemen Teknik Elektro, Universitas Hasanuddin

syafaruddin@unhas.ac.id


Tulisan ini merupakan refleksi pengalaman pribadi di Jepang selama lima tahun yaitu di Kumamoto Ken; salah satu propinsi yang terletak di wilayah selatan Pulau Kyushu. Keberadaan kami di sana dalam rangka tugas belajar program doktor yang disponsori oleh Monbukagakusho scholarship dan berlanjut sebagai visiting professor selama dua tahun di Kumamoto University. Oleh karena itu kami mempunyai kesempatan berinteraksi dengan orang Jepang baik dalam konteks akademik maupun sosial. Dari hasil interaksi ini kami memperoleh banyak pengalaman yang akan kami sharing pada tulisan ini terutama bagaimana orang Jepang membentuk mental, fisik dan perilaku sehingga berarah kepada perbaikan karakter bangsanya, mampu bertahan ditengah keterbatasan sumber daya alam dan bersaing di tengah pergaulan global yang semakin keras dan kompetetif di segala aspek.

Mungkin sering kita bertanya bagaimana memperbaiki bangsa sekarang yang sedemikian carut-marut di segala bidang. Solusi yang instan tidaklah mungkin. Yang paling menjanjikan sebenarnya adalah bagaimana memperbaiki dan membina fisik, mental dan perilaku anak-anak kecil kita. Karena merekalah asset-aset berharga bangsa di masa depan yang diharapkan bisa membawa perubahan yang lebih baik. Apa yang terjadi sekarang mesti secara berlanjut dibenahi. Ibarat kondisi blackout atau down pada suatu sistem, kita perlu melakukan restarting secara perlahan tetapi pasti sehingga kestabilan sistem tersebut secara perlahan tercapai. Pembentukan fisik, mental dan perilaku generasi kecil kita akan memberikan semacam akselerasi positif menuju ketingkat kestabilan karakter bangsa yang lebih baik.

Hampir pasti kita pernah berpikir dan bertanya dalam hati mengapa bangsa Jepang bisa maju dan sukses hampir di segala bidang hanya dengan mengandalkan sumber daya alam yang bisa dibilang sangat terbatas. Ternyata kondisi kemajuannya sekarang bukanlah sesuatu yang begitu saja diperoleh dan kesuksesan mereka bukanlah juga warisan dari pendahulu mereka. Kalau kita melihat ke belakang, kurang lebih lima dekade lalu, kondisi mereka hampir sama dengan kondisi kita saat ini; kota yang semrawut penuh dengan kemacetan, kotor penuh dengan sampah yang berserakan dan berbagai persoalan kota besar lainnya. Hal ini bisa kita saksikan dalam film dokumeter tentang kondisi kota Tokyo menjelang Olimpiade tahun 1964. Tapi bagaimana mereka bisa berubah dengan cepat menjadikan kota Tokyo sebagai metropolitan yang teratur, bersih dan aman. Ternyata salah satu usaha pemerintah Jepang yaitu secara sinergik dengan penduduknya berusaha memperbaiki mentalitas; mental dan keinginan memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Mereka mulai melakukan perbaikan dari usia yang sangat dini. Ini sangat beralasan karena usia dini balita merupakan usia dengan perkembangan otak yang paling pesat. Kalau dalam usia dini kita mengisi dengan hal-hal yang baik maka akan terbawa hingga mereka dewasa. Tentunya lingkungan sekitar ikut mendukung dan perbaikan itu berkelanjutan sesuai dengan jenjang umur generasinya.

Bagaimana sebenarnya mental dasar orang Jepang?. Untuk mengetahui hal ini kita perlu menelaah satu kata yang terbilang sakti untuk membentuk kekuatan hati untuk bekerja keras. Kata itu adalah ganbarimasu, ganbarimashou, ganbatte kudasai. Kata-kata ini paling sering kita dengar dalam kehidupan masyarakat Jepang di semua level. Arti harpiahnya berturut ‘bekerja keras’, ‘ayo bekerja keras’ dan ‘mari bekerja keras’. Saking populernya kata-kata ini, anak kecil bahkan bayi sekalipun telah diajarkan untuk tidak pasrah dengan keaadaan. Jika seseorang mengatakan ganbatte kudasai pada saat kita mengerjakan sesuatu, kita bisa membalas ungkapan ini dengan mengucapkan ganbarimasu. Artinya kita akan berusaha lebih keras sampai batas atas kemampuan kita. Orang yang memaknai lebih dalam pengertian kata tersebut akan mengeluarkan air mata pada saat berhasil maupun pada saat belum berhasil. Kalau kita perhatikan, atlet-atlet olahraga Jepang, mereka akan menangis kalau memenangi kompetisi karena merasa telah berhasil mencapai kemampuan maksimalnya, dan juga akan menangis tatkala kalah karena mereka telah berusaha keras untuk menang tapi tidak tercapai dan akan berusaha lebih keras lagi di kali berikutnya. Sebenarnya negara kita kaya dan punya dengan semboyan yang pengertiannya mirip dengan kata-kata Jepang di atas yang artinya sekali layar terkembang pantang surut kembali ketepian. Yang menjadi tantangan kita apakah kita telah mempraktekkan semboyan itu dalam segala aktifitas kehidupan. Juga sudah pernahkah mengajarkan makna kata tersebut ke anak cucu kita. 

Salah satu tantangan hidup orang Jepang adalah kerasnya kondisi alam di barengi dengan perubahan suhu empat musim yang signifikan sehingga menuntut mereka mempersiapkan diri bagaimana bertahan hidup lebih lama. Kenyataannya, mereka mempuayai life expectancy per individu paling panjang di dunia. Pola hidup sehat terutama makanan dan latihan fisik yang membuat mereka bisa seperti itu. Untuk bertahan hidup di tengah perubahan suhu yang drastis antar musimnya, mereka dari bayi sudah dibiasakan beradaptasi dengan cuaca dingin. Dokter di Jepang tidak pernah merekomendssikan bayi memakai kaos kaki meskipun suhu luar tergolong relatif dingin. Pemandangan ini tidak akan kita jumpai di Indonesia, di mana bayi yang lahir sering dibungkus rapat. Anak kecil yang hanya beringus karena pilek, menurut dokter tidak perlu diberi obat, kecuali ada gejala lain seperti demam atau muntah; biarkan badan si anak beradaptasi sembuh terhadap penyakit dengan mengandalkan daya tahan tubuh. Dari mana daya tahan tubuh diperoleh, cukup dengan asupan gizi keluarga. Dokter-dokter anak di Jepang tidak pernah merekomendasikan anak menjadi gemuk. Menurut mereka, anak yang gemuk kurang sehat karena tentunya tidak bisa bergerak dinamis seperti halnya anak yang lebih langsing. Akibatnya, kenikmatan bermain sang anak tidak maksimal sehingga bisa berpengaruh ketingkat pembentukan motorik dan kreatifitas anak.

Mungkin ada juga yang bertanya di antara kita bagaimana struktur fisik mereka berubah dari yang sebelumnya kita kenal mereka sebagai bangsa kate menjadi bangsa yang mempuyai tinggi badan ideal. Ini tidak terlepas dari usaha dan program pemerintah bernama kyuusoku, di mana anak SD hingga SMP memperoleh jatah makan siang di sekolah masing-masing. Program ini berlangsung di seluruh Jepang dari Hokkaido di utara hingga Okinawa di selatan. Jadi kita bayangkan saja anak-anak mereka makan siang dan minum susu di sekolah di waktu yang sama dengan kadar kandungan gizi yang telah ditakar sama. Tentunya juga fasilitas pendukung latihan fisik yang dikemas sebagai fasilitas bermain tersedia seragam di seluruh sekolah mulai TK hingga perguruan tinggi. Selain itu, hampir kita tidak pernah menjumpai orang Jepang yang bungkuk. Ternyata badan mereka terbentuk dari kecil di mana setiap anak usia SD diwajibkan memanggul ransel ke sekolah. Berat ransel ini pada saat tanpa isi kurang lebih 1 kg ditambah dengan beberapa tas tentengan lainnya. Mereka berjalan kaki pulang pergi dari rumah ke sekolah setiap harinya, meskipun hari hujan lebat atau bersalju tebal sekalipun. Mereka sudah dilatih dan ditempa dari kecil untuk mandiri dan tidak cengeng dengan kondisi kehidupan yang bisa dibilang sangat keras. 

Ada perilaku yang menarik kita jumpai sehari-hari dari kehidupan mereka yaitu salam (aisatsu), hubungan senior (senpai)-yunior (kohai) dan juga kebiasaan teamwork. Satu persatu dari topik ini akan saya ulas dalam tulisan ini. Orang Jepang sangat peduli dengan budaya salam, sampai-sampai kebiasaan ini diajarkan secara intensif sejak anak masuk taman kanak-kanak (youchien). Ada salam di pagi, siang dan malam hari; ada salam yang diucapkan pada saat hendak dan setelah makan, ada salam yang diungkapkan pada saat akan tidur dan ada salam pada saat akan berangkat dan kembali ke rumah. Selain itu, mereka mempunyai ekspresi yang mengagumkan tentang permintaan maaf jika merasa bersalah, berpamitan atau hanya sekedar meminta izin pada saat mau lewat di depan orang lain. Hal ini mengindikasikan pentingnya komunikasi verbal dalam masyarakat Jepang. Sebenarnnya kita di Indonesia punya kesamaan cara dalam hal komunikasi dan mengekspresikan salam. Hanya saja yang terlihat di tanah air, tidaklah seintensif dengan apa yang mereka praktekkan sehari-hari.

Seperti halnya dengan struktur masyarakat kita, masyarakat Jepang sangat mengedepankan penghargaan terhadap orang lain. Dengan penghargaan yang tinggi terhadap orang lain terciptalah budaya antri, keramahan yang tinggi dan kehalusan gaya berbicara. Dalam konteks penghargaan terhadap orang lain, terdapat dua hubungan yang kita kenal sebagai vertical distance dan horizontal distance dalam praktek komunikasi orang Jepang. Vertical distance dalam konteks masyarakat Jepang yang tradisional sangat berkaitan dengan status sosial yang berhubungan kesenioran dan rangking, meskipun dalam konteks masyarakat modern kehirarkian ini perlahan-lahan mengalami pergesaran nilai. Format penggunaan kata akan sangat berbeda jika pembicara berada dalam dua strata atau kelompok yang berbeda. Bentuk honorific dan humble diisitilahkan keego dalam bahasa Jepang senantiasa terdengar. Misalnya, seorang mahasiswa akan mengunakan format casual dalam pengunaan kata jika mereka berbicara ke teman sebayanya, tetapi akan menggunakan kata-kata yang sangat sopan jika berbicara kepada mahasiswa yang lebih tua atau dosen atau hanya sekedar membicarakan dosen lain meskipun sang dosen tidak berada di tempat. Ini tidak hanya terjadi di lingkungan universitas tetapi juga sangat kental terjadi di level perusahaan atau di dalam keluarga sekalipun.

Lain halnya dengan komunikasi dalam konteks horizontal distance, orang Jepang mempunyai hubungan yang sangat kuat dalam kelompoknya; baik itu dalam kelompok keluarga, sekolah, perusahaan maupun negara dalam skala besar. Oleh karena itu, kita mengenal istilah ingroup dan outgroup. Seorang pekerja akan menggunakan bentuk honorific (penghargaan) ketika membicarakan sang presiden kepada seorang teman di dalam grupnya. Akan tetapi akan menggunakan bentuk humble (merendah) ketika membicarakan sang presiden ke pekerja lain di luar grup. Sebenarnya juga kita juga mempunyai struktur bahasa yang sopan ketika kita berbicara kepada seseorang yang baru kita kenal. Hanya saja kelihatannya kata-kata ‘sopan dan santun’ sudah sangat jarang terdengar lagi dalam pembicaraan-di masyarakat kita. Hal ini bisa menjadi tantangan buat orang tua untuk mengajarkan ke anak-anak kecil kita untuk mengenal dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam konteks hubungan senior (senpai) dan junior (kohai), Jepanglah yang patut dijadikan contoh yang tepat. Seorang junior harus menghargai sang senior yang mungkin itu orang tua, guru maupun orang yang lebih tinggi statusnya. Seorang siswa dituntut untuk meminta izin ke guru ke setiap aktifitas lain yang mereka jalankan. Akan tetapi sang junior tidaklah mesti berperilaku sebagai hamba kepada seniornya dan sang senior tidaklah bisa berbuat semena-mena terhadap juniornya. Inilah yang membedakan prinsip-kesenioran dalam praktek di masyarakat kita. Di Jepang prinsip ini tidak lebih dari hubungan give and take, sehingga seorang senior berkewajiban menjaga juniornya bukan mengerjainya. Terciptanya hubungan yang baik antara senior dan junior membuat hidup di Jepang lebih mudah dan nyaman. Kapan mereka mulai belajar tentang hal ini. Ternyata mereka mengajarkannya dari kecil. Di taman kanak-kanak seperti yang kami lihat, seorang anak yang kelasnya lebih tua mampu menjaga adik kelasnya. Seorang adik kelas tidak akan pernah mencampuri urusan kakak kelasnya. Sudah ada hirarki di sekolah yang terbentuk dari hasil pembelajaran ini. Hasilnya, hampir kita tidak menemukan pertengkaran atau clash antar siswa.

Salah satu alasan keunggulan bangsa Jepang dibandingkan bangsa manapun di dunia yaitu aktualisasi teamwork. Ada suatu anekdot atau cerita tentang keunggulan bangsa dengan teamwork dalam mencapai tujuan bersama. Dalam suatu lomba perahu naga, normalnya terdapat 20 pendayung dan seorang komando. Jepang dalam lomba ini betul-betul mengfungsikan 20 pendayungnya dengan satu komando; sedangkan negara lain mempunyai 20 komando dan hanya mengandalkan satu pendayung. Bayangkan saja betapa jauhnya Jepang meninggalkan negara saingannya. Itulah yang terjadi dalam setiap elemen kehidupan mereka. Dalam konteks akademis, tulisan-tulisan ilmiah dari Jepang biasanya mempunyai pengarang yang sangat banyak, sedangkan sangat ironi misalnya tulisan dari negara kita hanya ditulis oleh satu orang.

Orang Jepang ternyata sudah sangat meyakini konsep agregasi pemikiran otak manusia, di mana kemampuaan otak individu tidaklah sama, tetapi pada saat pemikiran itu digabungkan maka satu dengan yang lain akan saling menutupi. Sama halnya dalam dunia vokal di Jepang, hampir sangat jarang dijumpai kelompok musik dengan hanya satu volaklis, tetapi mereka bernyanyi dalam satu grup yang besar. Hasilnya, mereka mampu menyuguhkan lagu-lagu yang enak didengar meskipun bisa dibilang karakter vokal individu mereka tidaklah sebagus penyanyi-penyanyi kita di Indonesia. Sebenarnya konsep teamwork ini hanya diadopsi dari kebisasaan perilaku binatang misalnya burung, ikan, semut dan lebah. Burung misalnya dalam perjalanannya dari sarang ke tempat perpindahannya saling bekerja sama. Ada team leader yang memandu koloni selama terbang, ada yang bertugas memandu kawanan burung yang tersesat, ada yang bertugas sebagai pengintai terhadap predator. Jika ada yang tidak bisa melaksanankan tugasnya maka yang lain akan dengan senang hati menggantikan peranan yang kosong tadi, sehingga konfigurasi kinerja tim tetap terjaga. Pada akhirnya dengan kerjasama tim, segala persoalan yang besar akan mampu mereka atasi.

Selain mental, fisik dan perilaku berusaha dibentuk dari usia dini, orang Jepang ternyata sangat peduli dengan pengembangan kreatifitas anak. Anak-anak TK di Jepang ternyata belum diajarkan oleh gurunya membaca apalagi berhitung. Yang mereka lakukan adalah memberikan keleluasaan bermain di dalam dan di luar kelas di mana dalam proses permainan itu terkandung banyak pembelajaran. Untuk pembelajaran dalam kelas, setiap anak hanya mempersiapkan crayon dan gunting. Mereka bisa berkarya apa saja yang mereka mau. Di luar kelas, mereka bebas mengekspresikan diri dengan bebas. Tangan Kotor, baju basah karena bermain lumpur di halaman sekolah bagi anak bukan masalah demi menggali kreatifitasnya.

Sangatlah berbeda dengan kondisi kita di Indonesia di mana anak-anak dituntut mampu membaca dan berhitung sebelum masuk ke sekolah dasar. Ini sebenarnya sangat berat untuk anak usia pra sekolah sehingga bisa berpengaruh stres pada anak dan berpotensi menjadikan sekolah bukan tempat yang menarik. Pendidikan kita di semua tingkatan masih mementingkan cognitive learning, hanya sekedar pengetahuan dan hapalan, atau dengan kata lain hanya terfokus membentuk kinerja otak kiri anak. Sedangkan kreatifitas itu terbentuk dari hasil kerja otak kanan. Seseorang yang bisa memaksimalkan kinerja otak kanan akan mampu melihat persoalan dan memberikan solusi dengan pandangan jauh ke depannya. Sebagai tambahan, dukungan orang tua juga sangat penting dalam peningkatan kreatifitas anak. Pada saat seorang anak menyukai seni, orang tua di Jepang dengan tekun dan telaten mendampingi sang anak, meskipun sang anak laki-lakinya menyukai tari balet.

            Sebagai penutup dari tulisan ini, saya sekedar mengingatkan bahwa tantangan bangsa akan semakin besar di masa datang di mana persaingan global akan terasa sangat berat dalam setiap aspek. Mempersiapkan anak di usia dini adalah kunci bersaing dan bertahan dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Tulisan ini bukan bermaksud untuk mengadopsi semua konsep pembelajaran generasi muda di negara lain. Kita bisa membuat sistem sendiri berdasarkan konsep tatanan kemasyarakatan baik lokal maupun nasional yang dimiliki, karena pada dasarnya nilai-nilai yang dipraktekkkan orang Jepang dalam kehidupan mereka juga terdapat luas di negara kita. Tidak ada kata terlambat dalam memulai sesuatu yang baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Putri Dari Salah Satu Anggota Persada Sulsel Berhasil Menjuarai Lomba Esai

PSM Unhas Peduli Covid19 Untuk Jepang

Pak Nurdin Abdullah Dilantik Menjadi Ketua Persada