Belajar Dari jepang
Ir. M. Iqbal Djawad, M.Sc, Ph.D. |
Yang menarik Namba Sensei tidak pernah mengingatkan saya untuk datang setiap hari dan juga tidak pernah memberi batasan waktu saya harus berada di lab. Walaupun begitu, kami semua mahasiswanya tahu diri kapan kita harus berada di lab. Begitulah budaya Jepang mengajarkan kami “tata krama” belajar. Bagaimana mungkin, seorang Professor sudah berada di Lab, tetapi mahasiswanya masih berleha-leha di rumah. Selama kurang lebih 7 tahun bersama-sama Namba dan Uematsu Sensei, saya tahu kebiasaan mereka dan tahu di mana mereka berada karena mereka berdua pasti mengkomunikasikan semua dengan para mahasiswa termasuk ke saya. Di pintu para professor, ada tanda di mana mereka berada, apakah lagi meeting, atau lagi ada di perpustakaan atau ada di lab atau lagi perjalanan Dinas ke luar Hiroshima?. Pelajaran terpetiknya adalah mereka memberi contoh sehingga semua mahasiswa yang berada di bawah bimbingan mereka percaya dan melakukan hal yang sama. Kami mahasiswa nya di beri “kebebasan bersyarat” untuk melakukan penelitan dan mengikuti kelas. Setiap ada improvisasi atau kreatifitas yang ingin di lakukan harus di diskusikan dengan mahasiswa di tingkat atas. Kami hanya berkumpul setiap senin pagi untuk membahas berbagai issu-issu terkini di bidang fisiologi hewan air dan atau konsultasi ke Namba dan Uematsu Sensei.
Tahun 2001-2003 saya beruntung diundang oleh Ohio University, USA sebagai visiting researcher di Department of Biology dan Center for Southeast Asian Studies. Ketika pertama kali bertemu Prof. Willem Roosenburg, Professor diLab Environmental Physiology, beliau melakukan hal yang sama dengan Namba Sensei lakukan di tahun 1991. Willem, begitu semua mahasiswanya memanggilnya, memberi saya 6 kode rahasia untuk masuk ke pintu utama Life Science Building. Setelah masuk ke dalam gedung utama beliau memberi lagi 6 kode rahasia untuk semua ruangan yang berada di bawah tanggung jawab nya sebagai kepala Lab Environmental Physiology. Berbeda dengan Namba Sensei, di pintu masuk ruangan Willem hanya tertempel kertas yang isinya tentang Business Hours nya. Belakangan saya baru tahu bahwa business hours ini diperuntukkan buat konsultasi dengan para mahasiswanya termasuk saya dan menyediakan 4 jam per hari selama 3 hari kerja. Selain 3 hari itu, Willem terkadang tidak berada di lab. Sekiranya ada yang mendesak yang harus dikonsultasikan di komunikasikan lewat Mailing list Lab yang anggotanya adalah Willem, seluruh mahasiswa tingkat 4, Master dan Doktor serta peneliti, statistician, dan laboran. Pelajaran terpetik dari hal ini adalah komunikasiyang dibangun sebagai suatu budaya, sama dengan yang dilakukan oleh Namba Sensei dalam bentuk yang lain.
Mengingat dua pengalaman ini sepertinya senada dengan headline Harvard Business Review hari ini yang telah difollow oleh 9.576.198 follower yaitu “Persuasion and Communication are an ancient art — but we do it every day. This formula from Aristotle can be applied in the modern workplace”. Di Abad Millenial sekarang ini saluran komunikasi semakin banyak dan beragam melalui teknologi. Hanya saja terkadang komunikasi ini tidak bisa berjalan dengan baik dikarenakan komunikasi tidak dijadikan budaya. Dua contoh di atas memperlihatkan bahwa komunikasi merupakan bagian dari budaya. Tidak ada kebijakan tertulis tetapi perilaku-perilaku nya tertanam dengan baik. Mungkin itulah sebabnya Jepang terkenal dengan pendidikan yang berbasis kebiasaan bukan hafalan sebagaimana tujuan dari pendidikan di Jepang, yaitu mempertajam pikiran, memperhalus perasaan dan menumbuh kembangkan kebijakan. Dalam konteks yang sama, di Amerika dengan kebebasan belajar ala Cowboy nya, apabila kita melihat secara sepintas seperti akan ada chaos karena sangat bebas, tetapi ternyata tidak karena di dalam kebebasan ada keteraturan yang luar biasa dan ada aura kreatifitas yang tinggi di dalamnya. Kehadiran fisik tidak wajib dinarasikan dalam sebuah kebijakan, tetapi budayalah yang membuat mereka menjadi “pemenang”. Di jaman kekinian, kita sudah terdistrupsi oleh teknologi yang “memaksa” kita untuk berdamai dengannya. Kita “dipaksa” untuk tidak kembali ke jaman yang jauh berbeda dengan jaman sekarang. Yang mungkin kita bisa lakukan adalah meng improve contentpembelajaran dan mengasah kreatifitas dimanapun kita berada untuk memberikan yang terbaik ke para mahasiswa kita dengan membangun komunikasi yang baik melalui saluran-saluran komunikasi yang beragam adanya. Inipun terasa belum cukup setelah membaca Headline Harvard Business Review dua hari lalu yang menyatakan: “You can’t change a company until you change its culture. Leaders focus too much on changing policies, and not enough on changing minds”. Ternyata perjalanan masih panjang.
Komentar
Posting Komentar