Mobilitas Di Tengah New Normal

 PERSADA SULSEL - Aktifitas warga Jepang sangat bergantung ke moda kereta. Seberapa banyak pengguna mobil pribadi? Sekitar 12 persen, menurut data Tokyo Metro. Tahun 1960-an, generasi baby boomers Jepang sangat konsumerisme dan juga gemar bermobil. Saat Olimpiade Tokyo 1964, Tokaido Shinkansen Tokyo – Shin Osaka sepanjang 515 kilometer dibuka sebagai high speed rail system pertama didunia. Jalur komuter dan subway pun makin pesat menjangkau semua daerah. Jepang memasuki era kereta. Biaya parkir membuat warga mulai menjauh dengan mobil. Apalagi kereta makin tepat waktu dan infrastruktur stasiun makin modern. Kebanyakan mobil menganggur di garasi hari kerja dan baru digunakan saat libur. Toh anak anak juga berjalan kaki sendiri ke sekolah setiap hari.


Ada hal yang mengemuka ketika beberapa waktu lalu saya menjadi moderator sebuah webinar bertema Arah Transportasi Kota ke Depan. Dimasa New Normal dan post Covid-19, sebuah kota dituntut bisa menyediakan sistem mobilitas yang makin mudah, makin efektif, efisien, juga aman dan sehat bagi warga.


Bagaimana mengukur efektifitas mobilitas? Bagi saya, dalam simulasi kehidupan sehari hari mudah terasa parameternya. Saat saya bersepeda ke station kereta di pagi hari, tidak terlihat kemacetan. Mobil berderet tapi berjalan teratur. Ketika sepeda saya menyeberang di persimpangan jalan, ada sistem AI yang mengatur traffic light. Pengendara mobil juga beretika; mendahulukan pengendara sepeda dan pejalan kaki. Tidak ada bunyi nyaring klakson terdengar. Lampu jalan tertata rapi dengan pengelolaan serba smart termonitor. Semua serba teratur, mudah, tidak ada hambatan.


Efisiensi waktu dan pergerakan bisa terukur dengan baik. Ketika tiba di station terdekat, terlihat sistem parkir sepeda rapi dan berteknologi. Tinggal mencet tombol dan sepeda terparkir secara otomatis; tentu saja aman. Naik di stasiun, terlihat flow pergerakan pengguna kereta yang terpola. Meski padat disaat peak hours, tetap rapi dan tidak saling bertubrukan. Juga tidak hingar bingar. Sistem karcis dan IC Card juga sangat kompleks berbasis data perjalanan sangat detail lengkap. Penumpang akan tiba di destinasi kerja on time per menit sesuai schedule. Saat saya harus ‘norikae’ ganti kereta, jaringan kereta lain terkoneksi baik. Jika ada hambatan delay, semua jaringan lain otomatis menyesuaikan keterlambatan agar proses norikae berjalan baik. Tidak perlu lari memburu kereta ganti dalam kepanikan. Alternatif moda lain juga tersedia dan informasi tentang itu bisa diakses cepat.


Parameter keamanan mobilitas juga bisa terasa; ketika bisa berangkat dari rumah pagi hari dan pulang malam hari dengan perasaan aman tanpa khawatir. Polisi Tokyo selalu sigap berdiri dan ada dimana mana. Mereka menjadi tempat melapor jika punya masalah, tempat bertanya saat bingung cari alamat, tempat melapor jika kehilangan sesuatu. Poster anti kejahatan tertempel dimana mana; didesain atraktif kadang lucu menarik tanpa mengurangi makna implisit. Saat kelupaan atau kehilangan barang tidak usah panik   ; segera cek kembali di tempat barang terlupa, di Lost and Found Centre stasiun atau ke pos polisi terdekat. Koordinasi pengembalian barang hilang juga lancar dan cepat. Jika kemudahan ini terasa, artinya parameter aman sudah terimplementasi baik.


Di era New Normal, aspek kesehatan juga makin urgen. Meski mobilitas dengan walking dan cycling makin populer karena dianggap relatif aman dari penyebaran virus, kereta di Jepang juga berusaha berbenah untuk memenuhi aspek itu. Tempat hand sanitizer bertebaran dimana mana seluruh area stasiun. Bagian kereta yang sering tersentuh tangan penumpang, rutin dibersihkan dengan disinfektan. Kereta komuter dan bus umum juga tidak menutup rapat jendela agar sirkulasi udara berputar. Untuk shinkansen dan kereta ekspres, perputaran udara kereta juga terus rutin dijaga dengan sirkulasi pendingin dan sistem ventilasi udara.


(Harian Tribun Timur, Juli 2020)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Putri Dari Salah Satu Anggota Persada Sulsel Berhasil Menjuarai Lomba Esai

Kunjungan Sosial ke Pulau Terluar di Makassar